Opini Orang Kelas Rendah
Corona belum juga berhenti. Bahkan sampai bergantinya tahun enggan untuk pergi dari negeri ini. Aku paham beberapa masalah terus berkaitan dengan virus itu. Selain dari pada kesehatan, segalanya tampak berubah saat corona menapakan kakinya di ibu pertiwi, yang telah mengganggu ekonomi dan dimanfaatkan politik. Aku orang bodoh yang ingin beropini.
Aku sadar bahwa virus itu mengundang kematian. Diawal aku terbuai ucapan pimpinan negeri. Katanya "corona" tidak akan berani datang ke ibu pertiwi. Ibu pertiwiku lebih kuat bila hanya melawan virus yang tampak asing dan tak bisa terlihat itu. Percayalah aku. Kupikir beberapa bulan pertama ketika wabah virus itu masih jauh dari jangkauan aku tahu akulah orang yang berkata "tidak peduli, pemimpinku telah meyakinkan seluruh orang dinegeri ini". Aku cuek, aku tidak peduli dan sampai akhirnya satu persatu dan kini ribuan. Atau bahkan puluhan ribu manusia dinegeri ini telah tertular wabah itu. Ada yang sembuh lalu tersenyum, ada yang berpulang tanpa berpamit. Meskipun setiap harinya ada yang berjuang menyelamatkan nyawa. Terima kasih bapak/ibu dokter. Meskipun tidak semua bisa tertolong. Jerih payahmu menyelamatkan orang-orang yang memiliki harapan pada hidupnya setiap saat. Terima kasih, kerja kalian sangat hebat.
Waktu terus berjalan hingga setiap saat aba-aba digaungkan. Jangan lupa ya, maskermu. Cuci tanganmu. Jangan lupa juga jaga jarak. Dirumah saja apabila tidak terlalu penting, bertahanlah dirumah". Sampai pada akhirnya pikiran manusia tertekan. Tidak jarang aku mendengar bahwa mental - mental itu telah menghancurkan teguhnya mereka melawan wabah. Aku pun membenci wabah ini hingga bergantinya tahun.
Bukankah ini hal buruk? Dua tahun sudah aku paham hidup tanpa rencana besar dan mengikuti arusku sesekali berusaha gapai dengan bangkitan sedikit mimpi. Tapi, rupanya wabah itu terus bermain dengan curang. Mengambil jiwa-jiwa yang lengah akan dirinya. Tidak sampai disitu saja. Menyuarakan tentang wabah ini saja masih bisa disudutkan.
Aku tampak kecewa ketika melawan wabah ini bukan dasar dari nurani. Pimpinan yang sejatinya mengatakan wabah ini tak akan sampai ke negeri pertiwiku, nyatanya hilang ditelan bumi. Mungkinlah dia lupa dengan apa yang sempat dia katalan didepan ratusan camera yang merekamnya dengan sukarela?
Ditengah runyamnya aku, tiba saatnya permainan harus terbongkar tanpa terselesaikannya wabah itu. Kesengsaraan atas janji palsu dari pimpinan itu telah merenggut kesejahteraan masyarakat. Permainan kelas kakap itu telah mengambil harapan makanan enak dari kelas rendah sepertiku. Aku bingung, mengapa manusia dinegeri sendiri lebih sering dibodohi dengan janji?
Hingga ucapan itu membuat perut kenyang lagi, lagi dan lagi. Aku tertawa puas, belum sampai tahap frustasi. "Ah, sepertinya pimpinan negeriku lebih banyak mencari keuntungannya lewat kursi-kursi istimewa itu. Kacau betul".
Lambat laun aku memahami, kelas rendah layaknya aku hanya bagian dari permainan mereka. Terkena ombang-ambing alasan bagi mereka yang mencari keuntungan. Belakangan aku dibuat lagi geram. Adanya obat yang katanya mujarab untuk menolak virus itu sudah tiba dari negeri sebrang. Aku tertegun, "Benarkah? Boleh bersykur sekarang? Berarti yang mati akan semakin berkurang?"
Media gempar dengan hal itu. Belum sempat bibir ini bersyukur tiba saatnya aku dibuat bingung lagi. Obat mujarab ini berisiko, akankah pimpinan negeri akan tanggung jawab kalau sewaktu-waktu obat itu menunjukan efeknya? Tapi, tidak mungkinkan jika obat mujarab itu bisa masuk kedalam tubuh orang nomor satu di negeri ini berbahaya? Lalu melibatkan orang-orang terkenal di negeri ini sebagai gaungan untuk segera obati dengan sekali suntikan itu. Maka wabah bisa kita hindari? Aku terkekeh. "Apa boleh buat?"
Belum disitu saja, adanya perseteruan dikursi istimewa itu dengan klaim untuk berhati-hati terhadap obat itu dengan beberapa pengalaman yang ada pada kasus lain. Tapi, aku heran orang hebat itu berani bersuara tentang hak orang rendah sepertiku. Aku merasa terwakili. Rasa takut, khawatir, dan kegelisahan yang tak terwakilkan akhirnya sampai lewat kursi orang hebat itu.
Sayangnya mungkin hanya aku yang bangga kepada Si Ibu pemberani itu, ya aku memanggilnya seperti itu karena dirinya berani bersuara tentang hak-hak orang kelas rendah sepertiku. Tapi, mungkin hanya aku yang bangga, karena pada akhirnya ucapannya dianggap salah karena datangnya orang ketiga yang katanya selalu netral. Bahwa apa yang diucapkan oleh orang istimewa itu adalah "kekeliruan".
Aku menepuk jidatku lagi.
"Ya ampun. Apakah ini takdir dari orang kelas rendah?"
Parah sekali.
Aku sadar bahwa virus itu mengundang kematian. Diawal aku terbuai ucapan pimpinan negeri. Katanya "corona" tidak akan berani datang ke ibu pertiwi. Ibu pertiwiku lebih kuat bila hanya melawan virus yang tampak asing dan tak bisa terlihat itu. Percayalah aku. Kupikir beberapa bulan pertama ketika wabah virus itu masih jauh dari jangkauan aku tahu akulah orang yang berkata "tidak peduli, pemimpinku telah meyakinkan seluruh orang dinegeri ini". Aku cuek, aku tidak peduli dan sampai akhirnya satu persatu dan kini ribuan. Atau bahkan puluhan ribu manusia dinegeri ini telah tertular wabah itu. Ada yang sembuh lalu tersenyum, ada yang berpulang tanpa berpamit. Meskipun setiap harinya ada yang berjuang menyelamatkan nyawa. Terima kasih bapak/ibu dokter. Meskipun tidak semua bisa tertolong. Jerih payahmu menyelamatkan orang-orang yang memiliki harapan pada hidupnya setiap saat. Terima kasih, kerja kalian sangat hebat.
Waktu terus berjalan hingga setiap saat aba-aba digaungkan. Jangan lupa ya, maskermu. Cuci tanganmu. Jangan lupa juga jaga jarak. Dirumah saja apabila tidak terlalu penting, bertahanlah dirumah". Sampai pada akhirnya pikiran manusia tertekan. Tidak jarang aku mendengar bahwa mental - mental itu telah menghancurkan teguhnya mereka melawan wabah. Aku pun membenci wabah ini hingga bergantinya tahun.
Bukankah ini hal buruk? Dua tahun sudah aku paham hidup tanpa rencana besar dan mengikuti arusku sesekali berusaha gapai dengan bangkitan sedikit mimpi. Tapi, rupanya wabah itu terus bermain dengan curang. Mengambil jiwa-jiwa yang lengah akan dirinya. Tidak sampai disitu saja. Menyuarakan tentang wabah ini saja masih bisa disudutkan.
Aku tampak kecewa ketika melawan wabah ini bukan dasar dari nurani. Pimpinan yang sejatinya mengatakan wabah ini tak akan sampai ke negeri pertiwiku, nyatanya hilang ditelan bumi. Mungkinlah dia lupa dengan apa yang sempat dia katalan didepan ratusan camera yang merekamnya dengan sukarela?
Ditengah runyamnya aku, tiba saatnya permainan harus terbongkar tanpa terselesaikannya wabah itu. Kesengsaraan atas janji palsu dari pimpinan itu telah merenggut kesejahteraan masyarakat. Permainan kelas kakap itu telah mengambil harapan makanan enak dari kelas rendah sepertiku. Aku bingung, mengapa manusia dinegeri sendiri lebih sering dibodohi dengan janji?
Hingga ucapan itu membuat perut kenyang lagi, lagi dan lagi. Aku tertawa puas, belum sampai tahap frustasi. "Ah, sepertinya pimpinan negeriku lebih banyak mencari keuntungannya lewat kursi-kursi istimewa itu. Kacau betul".
Lambat laun aku memahami, kelas rendah layaknya aku hanya bagian dari permainan mereka. Terkena ombang-ambing alasan bagi mereka yang mencari keuntungan. Belakangan aku dibuat lagi geram. Adanya obat yang katanya mujarab untuk menolak virus itu sudah tiba dari negeri sebrang. Aku tertegun, "Benarkah? Boleh bersykur sekarang? Berarti yang mati akan semakin berkurang?"
Media gempar dengan hal itu. Belum sempat bibir ini bersyukur tiba saatnya aku dibuat bingung lagi. Obat mujarab ini berisiko, akankah pimpinan negeri akan tanggung jawab kalau sewaktu-waktu obat itu menunjukan efeknya? Tapi, tidak mungkinkan jika obat mujarab itu bisa masuk kedalam tubuh orang nomor satu di negeri ini berbahaya? Lalu melibatkan orang-orang terkenal di negeri ini sebagai gaungan untuk segera obati dengan sekali suntikan itu. Maka wabah bisa kita hindari? Aku terkekeh. "Apa boleh buat?"
Belum disitu saja, adanya perseteruan dikursi istimewa itu dengan klaim untuk berhati-hati terhadap obat itu dengan beberapa pengalaman yang ada pada kasus lain. Tapi, aku heran orang hebat itu berani bersuara tentang hak orang rendah sepertiku. Aku merasa terwakili. Rasa takut, khawatir, dan kegelisahan yang tak terwakilkan akhirnya sampai lewat kursi orang hebat itu.
Sayangnya mungkin hanya aku yang bangga kepada Si Ibu pemberani itu, ya aku memanggilnya seperti itu karena dirinya berani bersuara tentang hak-hak orang kelas rendah sepertiku. Tapi, mungkin hanya aku yang bangga, karena pada akhirnya ucapannya dianggap salah karena datangnya orang ketiga yang katanya selalu netral. Bahwa apa yang diucapkan oleh orang istimewa itu adalah "kekeliruan".
Aku menepuk jidatku lagi.
"Ya ampun. Apakah ini takdir dari orang kelas rendah?"
Parah sekali.
Komentar
Posting Komentar