Frekuansi Kita

Mungkin itu dimulai tahun 2012.
Kali pertama itu menjadi hal yang sangat berat. Aku seperti pengkhianat besar dari ucapanku.
Dulu, aku bilang bahwa sekolah itu tampak asing bahkan tidak dikenal. Ya, kira-kira begitu ketika aku membela sahabatku yang disakiti dengan kisah percintaan masa remajanya. Bahwa ada seorang wanita yang menjadi alasan hubungan mereka berakhir karena wanita yang bersekolah ditempat tidak dikenal itu. Tapi, ini seperti karma bagiku. Aku justru memilih sekolah yang tidak dikenal itu sebagai pelarian dari mimpiku yang hilang karena tidak bersekolah ditempat yang aku harapkan. Hingga di liburan panjang sebelum masuk sekolah aku terus berceloteh "apa bagusnya aku membela hancurnya hubungan seseorang yang justru aku yang menanggung karma karena berkata buruk membela temanku?" Serius itu hal yang paling memalukan dalam hidupku.
Ya akhirnya aku sekolah disana, dan wanita yang pernah kusinggung justru menjadi orang yang membantuku masuk kesekolah itu.

Tahun 2013 datang, sekolah baru, teman baru, dan semuanya harus kuadaptasi dari ulang.
Entah kenapa, fokusku hilang untuk memulai sekolah di menangah atas. Seperti tidak semangat.
Pagi itu hari pertama, aku diantar kakakku. Seingatku dia baru saja berhenti bekerja untuk melanjutkan kuliah. 

Ketika aku hampir sampai di sekolah.
Aku baru tersadar. Aku salah pakai seragam. Ini hari Senin dan aku justru memakai seragam putih biru. Oke, salah kostum dihari pertama sekolah. Keren.
Aku membuat keyakinan dengan bertanya lagi dengan kakakku saat itu dan hingga sampai digerbang sekolah. Ya, oke ini Senin dan tetap salah bagaimanapun hal itu tidak akan kentara karena aku berganti jenjang sekolah.
Ini akan seru? Aku terlalu banyak membaca novel remaja bahwa masa SMA adalah yang terbaik. Aku yakini itu. Tapi, sampai saat itu tiba! Tidak. Tidak sepenuhnya ketika aku hanya mengetahui bahwa didalam kelas itu hanya ada delapan murid dengan satu jurusan IPS. Satu angkatan hanya delapan orang. Sebelumnya ketika aku datang kesekolahku itu, ada enam belas murid. Mengapa semakin berkurang? Aku susah berpikir ulang. Ini sangat berbeda dari apa yang aku bayangkan, setidaknya sangat jauh dari kehidupan SMPku dulu.

Aku menghela nafas, tapi aku tidak terlambat kesekolah hari itu. Sampai salah satu wanita mengajak aku berkenalan. "AMANDA" ya, sekarang itu sudah 10 tahun yang lalu. Aku juga tidak menyangka itu sudah berjalan lama selama kami mengenal. 


Itu masih sebagai hari pertama sekolah, hingga akhirnya aku juga tahu bahwa Amanda Indah Cecilia menjadi salah satu alumni di SMP dalam yayasan yang sama dengan SMAku itu. Gedungnya tidak terlalu besar hingga akhirnya SMP dan SMA masih dalam lingkungan yang sama. Aku cukup banyak tahu dari Amanda tentang sekolah itu, sampai akhirnya ada wanita yang tiba-tiba akrab begitu saja dengan Aku dan sudah pasti Amanda, itu Vivi cewek keturunan Thionghoa yang cukup banyak mengubah perspektifku juga dan akhirnya aku juga berkenalan dengan Sauzan, cewek yang berasal dari SMP negeri favorite di daerah Jakarta Selatan. Semua bersatu saja, menjadi sebuah pertemanan yang sangat mengejutkan. Setidaknya untuk aku dan Amanda. Bagaimana dengan siswa lainnya? Ada. Tetapi hidup manusia itu dinamas. Semua mencari kenyamanan dan tempat pulang. Segala hal itu hanya waktu yang bisa menjelaskan.

Amanda menjadi bagian dari cerita segalanya. 
Aku berpikir bahwa kesamaan yang akan mengantarkan seseorang menjadi bagian kehidupan manusia lainnya. Aku terus berpikir tentang hal itu dengan sosok Amanda.
"Mandah" aku sering memanggilnya seperti itu. Dia satu-satunya temanku yang tertarik dengan novel dan lembaran penuh bacaan itu, bertukar pikiran dan dia yang suka tertidur dikelas tapi dedikasinya cukup tinggi dalam segala hal. Dia yang membuatku menemukan makna Tuhan dalam jiwaku. 

Akupun berpikir bahwa spiritualku ditemukan dari sekolah yang muridnya bisa dihitung dengan jari itu. Ketika dikerumunan banyak orang aku justru mengenal dunia yang luas. Tetapi, mengabaikan aku pada kepercayaan. Sebaliknya, disekolah yang tampak biasa saja aku menemukan Tuhan, diantara pertemananku dengannya.Bukankah itu hal yang lebih penting dibandingkan aku terus sibuk dengan manusia dan kehidupannya? 
Akupun seiring berjalannya waktu menyadari bahwa diskeolahku saat itu, Tuhan memanggil jiwaku untuk menunjukan arah pulang dari kekecewaanku yang harus kehilangan harap untuk sekolah yang kumimpikan, dan perenungan akan salahku setahun lalu atas perbuatan dan ucapan yang aku lakukan di dunia ini kepada siapapun. 

Aku memiliki perbedaan dengan Manda, dia seorang Kristen yang taat dan aku sebagai muslim yang mengabaikan Tuhannya saat itu.
Aku teringat bahwa suatu hari, ada seseorang yang bertanya tentang ketuhanan dihadapan beberapa murid lainnya. "Agama atau kepercayaan itu dilakukan karena turun temurun. Agama yang dianut itu atas dasar orang tua. Di Indonesia kita tidak bisa memilih, kita hanya mengikuti agama orang tua, yang dilakukan orang tua tanpa memikirkan pandangan kita secara pribadi". Saat itu aku terdiam dan aku pikir aku yang paling tidak bisa menjawab. Sebenarnya pendapat itu benar, tetapi apa jawabannya? Ketika aku kebingungan, justru Amanda menjawab pertanyaan itu. Aku terdiam dan mengamati jawabannya yang pada intinya kenyamanan dalam hati.
"Saya memang mengikuti agama orang tua saya, tapi saya nyaman dengan agama saya. Saya bangga menjadi orang Kristen" kurang lebih begitu jawaban Amanda saat itu. Aku terdiam, saat itulah aku tersentuh dengan jawabannya. Aku belajar banyak atas makna nyaman akan hadirnya Tuhan dalam hidup. 
Percakapan itu terjadi ketika siang hari, waktunya murid salat berjamaah zuhur. Aku yang terkadang malas dengan menjalankannya. 

Untuk pertama kalinya, ucapaan Amanda mengetuk hatiku. Akupun nyaman ketika aku mensucikan diri dengan wudhu, bersujud dan berdoa. Sejujurnya disekolah itulah aku belajar lebih dalam memaknai salat dan berusaha menjadi muslim yang taat karena pembiasaan agama yang selama ini aku abaikan. Hingga akhirnya aku terus berusaha memenuhi diriku menjadi seorang muslim yang baik.

Tetapi, aku tidak melupakan bahwa ucapan Amanda yang banyak menyadarkan kemana tempat aku pulang dengan kenyamanan yang sesungguhnya. Bahwa Tuhan sedang ingin memperkenalkan dirinya kepadaku lewat Amanda yang justru menyadarkan perbedaan tidak pernah buruk ketika manusia selalu menjalankan kehidupannya dengan baik. 

Suatu hari Amanda baru berkata denganku.
"Gua kira sejak awal, lu itu juga Kristen" dan cara aku berpenampilanpun katanya mendukung. Ini lucu jika diingat hingga saat ini.

Banyak cerita yang terjadi setiap waktunya, begitu juga dalam menemukan masa remaja yang menemukan cinta pertamanya. Aku masih tertawa jika menceritakan lelaki itu. Manda tau betul siapa cinta pertamaku itu. Bahkan hingga saat ini dia masih menjadi topik dalam pembicaraan kami. Lelaki dengan mata terbaik yang pernah aku temui itu, menjadi cinta pertama yang gagal. Tetapi? Itu seperti takdir bukan? Cinta pertama pasti gagal, kalau bukan namanya jodoh. Sedikit makna dari ucapan Amanda. 

Saat itu, Manda yang juga membuatku mengenal lelaki itu. "Oh, dia itu namanya ..... iya matanya bagus kaya pakai softlans". Aku tau nama lelaki itu dari Amanda dan Vivi sebagai alumni disana. Lelaki itu banyak memiliki cerita, dan sangat baik terhadap kepada siapapun. Itu sedikit cerita yang mendukung tentang sosoknya. Aku tertawa terbahak-bahak ketika Manda bilang "dia memang ganteng sejak dulu, banyak monyetnya".  

Cinta pertamaku itu masih aku sematkan menjadi pria "bahasa kalbu" karena aku selalu ingin mengenangnya karena berbagi cerita sedihnya dan aku merasa akulah yang paling tahu apa yang menjadi perasaannya saat itu. Mata kucing, setidaknya itu yang pada akhirnya menjadi julukan tidak sengaja antara aku dan Amanda jika membahas sosoknya. Bagaimana aku bisa bertemu dengannya? Aku tidak percaya bahwa cinta pada pandangan pertama itu nyata adanya. Ketika aku bertabrakan dengannya dan dia meminta maaf padaku saat itu. Aku mengadu pada Manda, dan begitulah akhirnya aku bisa tahu sedikit banyaknya tentang lelaki yang menjadi "cinta pertama" dan "cinta pada pandangan pertamaku" itu. Oppss! Aku tidak berniat untuk menyebut namanya.

Manda dan temanku yang lain, sangat paham dengan berisiknya aku yang terus menceritakan lelaki itu. Sungguh, cinta pertama memang paling sulit terlupakan. Bahkan Manda paling tahu tentang betapa gugupnya aku kalau sudah berpapasan denganya. Tunggu? Aku yang mengumpat dibawah meja? Aku yang setelah bersalaman dengannya ? Dan cemburunya aku ketika dia memiliki seorang pacar. Itu bagian yang aku tidak ingin ingat. Namun, nama wanita itu masih kuingat meskipun ini sudah sepuluh tahun yang lalu.

Aku ingat saat itu, tidak ada Amanda disana. Aku bermain basket dengan teman lainnya. Aku tidak menyangka bahwa hari itu akan turun hujan, aku juga tidak menyangka bahwa hari itu dia latihan karate, aku tidak menyangka juga bahwa dia dengan gantlenya memayungi pacarnya takut kena hujan. Aku basah kuyup dilapangan sambil bola basket digenggaman. Tapi, cinta pertama pasti gagalkan? Yang aku selalu inginkan berharap waktu itu ada Manda, sejujurnya aku lupa kemana dia hari itu. Karena jika ada dia, dia mendapatkan kabar bagus. Mungkin dia akan tersenyum lebar karena. Dimana ada mata kucing, disana ada lelaki yang akan membuat Manda juga ikut tersenyum. Meskipun mungkin bukan waktu terbaik. Tapi saat itu aku berharap ada Amanda yang akan menenangkanku.

Dan yang kuingat minggu di bulan yang sama, tentang latihan olahraga. Seiring waktu aku menemukan keajaiban dari kisah cinta pertama ini. Entah mengapa aku bisa dekat dengannya. Kita begitu akrab, tapi tunggu. Apakah aku merasa diawasi saat itu? Bukan soal pacarnya lagi. Mereka telah putus seingatku saat itu. Ini soal Manda yang merasa aku masih memiliki kedekatan tak mendasar dengan pria dikelasku. Hanya Amanda yang mengetahui kedekatan aku dengan pria itu. 

Pada masa penyesuaian diri, aku berusaha biasa saja dengan semua teman terutama dikelas. Ada kisah yang sebenarnya itu hal yang wajar tetapi Amanda tau aku masih penasaran dengan apa yang ada antara aku dan pria itu? Sekali tanpa sepengetahuan anak kelas, aku pernah menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan pria dikelasku. Mungkin itu hal biasakan? Tapi Amanda dan aku tetap meyakini, seperti ada hal lain. Mengapa saat itu hanya aku yang diajak? Apakah dia hanya ingin akrab denganku? Atau ada hal lain? Dan itu masih menjadi lawakan aku dan Amanda. Setiap aku memiliki waktu dengan lelaki mata kucing ini, ada hal yang seperti janggal pada pria sekelasku ini. Entahlah? Mungkin dia memang tidak suka melihatku yang berisik karena salah tingkah dikelas. Aku menyimpulkan seperti itu saja, yang jelas itu seperti kartu matiku yang dipegang Amanda hingga saat ini.

Dengan waktu berlalu, hal buruk satu-satu datang. 
Aku menghela nafas ketika kabar buruk bahwa lelaki mata kucing itu pindah sekolah. Bayangkan saja, dia penyemangatku disekolah yang sepi itu dan dia pindah. Bahkan kepergian dia dari sekolah itu, mengucapkan selamat tinggal disaksikan oleh Aku dan Amanda setelah selesai ujian kala itu. Manda berada disampingku, lelaki itu mengucap selamat tinggal kearahku dan Amanda sambil melambaikan tangan dengan jarak yang cukup jauh. Aku ditemani Manda mengantarkan dia kegerbang dari jauh aku memperhatikannya hingga langkahnya tidak terlihat lagi. Apakah aku sedih? Tentu saja, apalagi setelah kejadian dilapangan basket beberapa minggu sebelumnya. 

Kalian percaya? 
Aku mendapatkan kecupan dari lelaki itu, refleks aku menangis dilapangan basket. Besoknya aku cerita pada Manda dan pria itu tidak muncul. Aku bertanya pada pria yang menjadi alasan Amanda tersenyum beberapa tahun disekolah itu. Sebagai sahabatnya dia mengatakan "tidak tahu" dan semua kisah itu memiliki akhir yang sedih. Lelaki itu pindah sekolah, meskipun aku sempat bertemu dengannya dengan tertegun mengucap selamat tinggal. Namun, kejadian itu tidak sempat dibahas. Semua hilang begitu saja.

Sejujurnya, aku juga sudah tidak nyaman disekolah itu. Satu persatu orang yang kukenal pindah sekolah. Termasuk pria sekelas yang pernah berbincang berdua denganku. Itu buruk, kelas semakin sepi. Aku sempat bertanya-tanya. Mungkinkah sebab kejadian kamis berdarah itu dia pindah sekolah? Entahlah. Itu hal buruk yang pernah aku saksikan seumur hidupku. Anarkis. Aneh. Tapi mereka adalah lelaki yang tidak kenal takut. 
Semua wanita disana berteriak. Itu sangat menegangkan.

Ketika "datang" dan "pergi" menjadi makna silih berganti dalam kehidupan. Sejujurnya, aku sangat membenci hal itu. Mengapa? Itu seperti malapetaka yang terjadi ketika aku terus merasa sepi di sekolah. Kedatangan orang yang paling tidak ingin aku lihat dan ingat yang menjadi awal semua bersitegang hingga akhir aku lulus dari sekolah.

Aku ingin mengakhiri penderitaan tentang psikologiku yang terus dikikis saat akhir-akhir sekolah. Tapi, setelah kupikir saat ini. Betapa hebatnya aku menahan rasa sakit semua itu. Pertemanan yang hancur tanpa sebab. Yang memahamiku hanya "Amanda" saat itu. Ketika semua menganggap netral tetapi aku sendiri yang dihancurkan ketika aku ingin berdamai dengan diri sendiri dan sahabatku diakhir pendidikanku. Saat ini aku ingin sekali bertanya dengan mereka semua, bukankah lebih tenang jika tidak ada hama disekeliling kalian? Benarkan? Kenapa aku merasa ditinggal padahal aku membela agar semuanya terlihat baik.

Saat itu adalah hal terberat dalam hidupku. Amanda satu-satunya yang ada. Bahkan aku terus berkata "Man, nanti pasti gua disangka menghasut lu. Dia akan memusuhi lu juga". Dan hanya Amanda yang bisa menebak semua taktik yang dimainkan saat itu. Amanda ikut dibenci tanpa sebab oleh hama-hama itu. Semua canggung hanya Amanda yang berani. Hingga pecah emosi pagi itu, dimana lantunan ayat suci bersamaan dengan teriakan orang-orang tidak jelas itu. Semua hancur, dan aku ingat kepalan tangan yang ingin mengarah kearahku. Aku tetap diam. Tapi, sakit itu masih hingga saat ini. Bahkan ada ancaman yang dilayangkan untukku hingga akhir. Aku memilih untuk diam, aku tidak ingin pendidikanku tertinggal karena hama yang datang dimusim panas.

Aku selalu berbincang dengan Amanda, seblak jadi makanan favorite kita ketika menghabiskan waktu bersama. Kadang juga aku dan Manda menghabiskan waktu di taman kota dekat sekolah berbicara kemarahan yang tertahan karena masalah tak kunjung usai. Betapapun hal-hal buruk yang terjadi, akan digantikan dengan kebahagiaan. Seperti halnya, Aku dan Amanda yang menghabiskan waktu sekolah untuk pelatihan sebagai perwakilan sekolah.


Ya... ada program sekolah dengan beberapa instansi pemerintah yang dimana siswa/i menjadi wakil dari sekolah untuk menambah wawasan dan keterampilan. Saat itulah, aku dan Manda selalu berusaha ikut untuk meninggalkan sekolah dengan mencari angin segar. Berharap bertemu hal-hal baru dan pemandangan sosok pria baru, sejujurnya ini tidak pernah terbayangkan untuk kami berdua. Tetapi... ini menyenangkan.

Salah satu pelatihan itu ada yang sangat berkesan bagi kami berdua. Saat itu, mungkin karena suasana puncak yang dingin dan bertemu lelaki dengan kharisma yang maksimal. Manda dan aku pun mengangguminya tanpa sebab. Itulah hal baiknya, tanpa disadari kita semakin selalu terpaut dengan pembicaraan pada lelaki yang pernah kita temukan tanpa sengaja. Seperti suatu takdir yang hebat dengan cinta dan persahabatan yang memiliki frekuensi yang pas.

Tunggu, apakah aku melewati cerita kisahnya Manda? Tersenyumlah di gereja. Mungkin tuhan sedang merencanakan yang terbaik pada suatu takdir untuk kau dan seseorang yang berada di balik lensa camera itu.

Manda, jangan lupa juga ucapkan salam rindu pada seseorang yang pernah membuatmu tersenyum di sepanjang lorong sekolah. Dia manis, masih manis, dan akan tetap manis kala tersenyum dan memimpin menjadi ciri khas yang paling aku ingat dari sosok yang kamu kagumi itu. Pria yang pernah kamu sematkan pada pengaguman itu, pernah menjadi seseorang yang membantuku untuk berada disekitar mata kucing. Termasuk pada akhirnya aku tau dimana rumah keduanya.

Manda percayalah juga padaku. Entah aku pernah jujur atau tidak padamu. Aku pernah tanpa sengaja melihat, matanya memandangmu dari jauh dan cukup lama. Aku melihatnya, tetapi jika aku saat itu ikut andil, apakah boleh? Tapi aku ingat ini soal kalian. Aku takut kau juga tidak menyukai hal itu. Tapi biarkanlan berlalu, tapi soal mengagumi kamu menjadi nomor satu baginya hingga akhirnya sama-sama menjalankan kehidupan saat ini.

Sejujurnya jika membahas pria manismu itu Man, dia laki-laki yang hebat. Berbanggalah pernah menyukai orang yang pantas dibanggakan dengan kehidupannya saat ini. Meskipun itu tidak bersemi hingga akhir, tetapi kisah itu yang membawa kita tersenyum dan puas "ya, lelaki itu pernah aku cintai dengan tulus dimasa remajaku".

Hal-hal yang selalu aku rindukan setiap waktu adalah kalimat "Lu inget gak sih..." yang menjadi awal cerita heboh selanjutnya diantara kita.

Hingga akhirnya, sepuluh tahun berlalu. 
Kami masih baik-baik saja, semoga selamanya. 
Menjadi bagian yang paling ditunggu setiap waktu berpihak untuk bertemu.

Komentar

Postingan Populer