Hanya Ingin (Selfcare)

Apa kabar? 
Semoga semua yang membaca ini dalam keadaan baik dan bisa tersenyum (meskipun sedikit terpaksa) yah?
It's okay, never mind!


Banyak sekali yang dilalui tahun ini...
Rutinitas memperbaiki diri, perjalanan spiritual, cinta, pendidikan, dan trauma. Huh, hebat sekali bisa bertahan sampai dipenghujung tahun ini.

Setelah pendidikan formal memang hampir selesai (masih nunggu proses) merupakan fase terjatuhnya lagi pada kenangan buruk masa remaja.
Aku berpikir bahwa "tidak diterimanya diri kita dalam hidup orang lain" pada akhirnya bukan suatu masalah, tapi mengacu pada "keputusan menyelamatkan diri".

Sesuai janjiku, proses hampir selesai ini aku kembali untuk memperbaiki segala persoalan kendala yang kaitannya dengan pendidikan. Sampai akhirnya dengan berat hati aku kembali lagi. Terpaksa mengingat lagi, kejadian yang aku sangat benci dan meninggalkan bekas luka di, "Masa penutup tahun sekolah".

Aku tidak pernah tau big problem yang memang terjadi saat itu. Dijauhi? Dimarah? Diteriaki? Diancam? Entahlah, aku bingung mendefinisikannya.
Intinya suatu pagi, diantara kehikmatan ayat-ayat suci dilantunkan ada kemarahan seorang perempuan yang aku pikir sangat membenci kehadiranku.

Aku hanya berusaha tenang, tetapi jiwaku ketakutan, trauma dan sakit hingga kini. Akupun baru menyadari ini ketika beberapa tahun berlalu. Aku terpaksa kembali pada ingatan dan ruang itu. Aku yang masih sangat muda berpikir "biarlah aku dimusuhi, tetapi jaga sahabatku yang paling rasional untuk tetap menjadi sahabat kalian". Logika itu berjalan sehingga kebenaran terungkap "aku bukanlah seseorang yang mengurusi kehidupan orang lain".


Teriakan dan mimik menyeramkan dengan nada mengancam tentang "akan dibunuh" yang ditujukan kepadaku. Ku pikir menghadapi dengan suatu ketenangan membuatku baik-baik saja seiring waktu berlalu, tapi nyatanya tidak. Sebaliknya aku bermimpi bahwa wanita itu datang mengusungkan pisau untukku dalam mimpi yang terulang.
Aku takut. Setrauma itukah aku? Meskipun orang-orang terkasihku mengatakan tidak perlu dipikirkan. Namun, alam sadarku menolak banyak hal yang tidak bisa diterima tentang perempuan itu.

Apalagi sosok lelaki yang kerap mengacau dengan pribadinya. Aku selalu berpikir bahwa berteman tidak selalu menguntungkan, justru malapetaka buat kesehatan jiwaku. 

Ketika aku datang kembali, bernostalgia dengan rasa takut, benci, sedih dan menguatkan diri. Itu sangat sulit. Tidak semua orang memahaminya, seakan aku yang terlalu mengambil pusing dan sosok amarah sehingga pola kehidupanku akan selalu dipertemukan dengan persoalan yang sama, begitu kata seseorang padaku dilorong gedung. 

Andai aku bisa jujur dulu, mungkin trauma itu tidak akan separah sekarangkan? Andai aku tidak sepeduli itu pada semua orang di sekitarku, meskipun pada akhirnya kehidupanku seakan diboikot dengan perasaan benci mereka saat itu. Aku bertahan dengan segala amarah mereka saat itu, tanpa aku tau masalah apa yang terjadi? Aku memohon atas perhatian sehingga aku dianggap untuk menerangkanpun jawabannya "tidak ada waktu untukmu". 

Saat itu aku hanya berpikir beberapa bulan lagi akan berakhir penyiksaan ini. Ya, akupun berjanji untuk terus memperbaiki diriku. Setidaknya tidak bertemu dengan orang yang mengancamku, mematikan mentalku, dan perasaanku yang merasa tidak pernah bisa diterima dimanapun. Aku bangkit, aku usaha lagi.

Sekian waktu berlalu dan aku bertemu lagi, dihadapkan, ditanya "apa kabar?" Seseorang yang telah menyingkirkan kepercayaan diriku untuk hidup. Mereka bertanya padaku, ketika jawabku acuh... Ketidakpuasan dan mengundang lebih banyak tanya. Hei! Jiwaku sakit, mengapa terus diungkit tentang hari-hari yang runyam itu? 


Seandainya mereka dulu lebih menyadari diriku butuh bantuan, setidaknya aku tidak harus bermimpi ketakutan untuk datang menghadapi yang sudah berlalu. Jangan lagi diberondong dengan pertanyaan yang memang membuat tanganku saja sudah gemetar.

"Aku belum sembuh akan trauma dan kejadian itu". Yang bisa aku lakukan dalam membela diriku adalah menjalani hidupku dengan melupakan berbagai hal yang mereka benci tanpa sebab didalam diriku. Akupun memperbaiki diri.

Sebab seiring waktu berlalu, aku belajar bahwa melupakan masalah besar yang terjadi. Jalan terbaiknya hanya dengan memaafkan diri sendiri dan memaafkan masalah yang terjadi. Meskipun masalah yang terjadi diantara aku dan mereka tampak samar.

Ketika aku memilih menjauh bukan berarti aku adalah pedendam yang epik, tetapi aku hanya menyelamatkan jiwaku yang sakit dan harusnya kalian paham pernah lalai akan tugas menjagaku. Tapi, aku menyadari itu juga salahku yang tidak bisa jujur karena rasa takutku yang akan memperkeruh keadaan.

Jika aku tidak ingin lagi membahas apapun, kujelaskan "aku, tidak membenci siapapun. Aku hanya mencukupkan diri untuk membatasi segala apapun yang membuat traumaku bisa jadi semakin meradang dan perasaanku tidak tenang. Mental adalah sesuatu yang penting untuk aku jaga. Aku tidak mendendam, tidak juga peduli lagi.  Aku berada di jalur luar yang seakan aku kembalikan keawal tidak mengenal mereka sama sekali". 

Belajarlah untuk tidak menjustifikasi dan menghargai keputusan seseorang untuk menjalani hidup. Apapun yang mereka lalui, terutama dalam melawan trauma. Tidak sepatutnya justru dipancing dengan pertanyaan yang menyudutkan. Secerdas apapun ilmu yang dipelajari tentang pikiran manusia, menghargai adalah sesuatu yang harus selalu di junjung tinggi pada orang berakal.



Komentar

Postingan Populer