Bertukar Cerita Eps. 1
Hari -hari dimana semuanya itu masa kehancuran bagiku. Semua hal terasa menyedihkan. Bahkan ketika berkaca aku tahu bahwa aku seputus asa itu. Aku berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Setidaknya hal itu sementara menjadi rahasia. Meskipun rasanya aku tidak butuh makan dalam hidup ini.
Hal paling aku sadari, bahwa sahabat yang menjadi keluarga itu nyatanya ada. Mereka tepat berada disampingku ketika hidupku seakan runtuh. Sehancur itu, sampai pada akhirnya kata-katanya membuatku berpikir ini soal keluarga dan masa lalu. "Sekarang gini, bisakah keluarga kamu menerima masa lalunya?" Aku diam. Aku sadar ini lebih rumit dari kata cinta yang dia sematkan untukku.
Aku berpura-pura baik bercerita tentang betapa beratnya hidupnya. Bodoh aku malah terus merasakan kasihan dan ingin menangis bersama, mengapa ini terjadi antara aku dan dia yang sefrekuensi itu? Aku mencintainya, tapi dulu. Sakit masih tertinggal kala aku ingat antara kami. Sampai pada akhirnya aku yakin, bahwa aku bertahan karena Tuhan selalu ada disisiku, menguatkan aku, dan merangkulku dari kesedihan ini.
Aku berakhir tidak percaya dan mati rasa. Aku ingin membuka diri sejauh itu, tapi aku sadar. Kematian akan rasa secara mendadak lebih parah dibandingkan dibunuh secara perlahan. Seakan tidak ada jalan keluar bagi aku untuk baik-baik saja. Apakah aku boleh menyesali pertemuan itu? Sehingga tidak ada yang terluka.
Larut dalam kesedihan tak seharusnya aku lakukan. Hingga akhirnya, pertemuan tidak sengaja dan berkenalan aku lakukan. Aku berkawan dengan seseorang itu. Kami bertukar cerita tentang masa lalu, rencana kedepan dan lainnya. Pria itu menyadarkanku bahwa dunia seperti itu lazim. Kehidupan diluar sana, bukan apa-apa. Hal itu lumrah terjadi. Aku diam dan dia terus membalas pesanku. Hingga kita sedekat itu tanpa disadari.
Kau tau apa yang buruk?
Aku paham kita jauh berbeda. Aku pun tak banyak berkata. Dia terus bercerita tentang masa depannya. "Apa rencanamu?" Aku bertanya waktu itu. "Aku akan menikah, tidak ada yang aku cari lagi, selain pendamping". Aku menghela nafas. Aku tahu dia begitu sukses dengan hidupnya. Meskipun kita dalam usia yang sama, dia yang terlahir dari kelas yang berbeda namun disanalah dia tidak mengenal beda kepadaku. Aku paham bisnisnya terus berkembang. Meskipun kita tinggal di beda negara dan dia masih kuliah di sana, dia dapat mengkontrol bisnisnya di negara ini.
Dia terus menyadarkanku tentang aku yang harus membuka mata melihat dunia, tapi kesedihanku tidak bisa dibuat baik-baik saja.
Dia menghubungiku kala kami merayakan lebaran, entah mengapa kami tampak lucu membahas kesalahan masing-masing. Sampai pada akhirnya aku menyadari, aku tidak bisa terus begini dan berbagi cerita padanya. Akhirnya saling memahami bahwa kepedulian masing-masing hanya bisa dilihat sebatas update di media sosial.
Bodohnya aku sering merindukannya saat itu. Aku merindukan pembahasan lucu olehnya, dia yang membahas kesibukan keluarganya dan bisnis keluarga. Aku bertanya padanya, bagaimana dengan "ibumu?" Dia tidak bergurau dan serius dengan ucapannya "ibuku diam saja dirumah dengan candy crushnya" aku terbahak membacanya. Aku bertanya kapan dia pulang? Ku rasa dia tidak tertarik untuk itu, keluarganya pun lebih senang untuk tinggal disana. Aku tahu, kita akan sulit bertemu. Disanalah, tidak ada satupun cara untuk kita bertemu, dan kepedulian itu hilang seiring waktu.
Hingga suatu ketika aku membenci orang yang berhenti mengikuti kegiatanku di media sosial. Aku memaki, aku sadar kami masih saling peduli satu sama lain. Meski hanya sebatas saling melihat melalui layar seluler. Kemarahanku memancing dirinya "kamu kenapa?" Aku berusaha menjelaskan apa yang menjadi maksudku. Disanalah dia memahami maksudku. Lama kami tidak lagi saling menyapa, hingga akhirnya dia memilih memberikan pilihan padaku untuk bertanya "mengapa kau juga berhenti mengikutiku?" Namun, aku tidak berniat melakukan itu. Aku terus berpikir, mungkin dia tidak sejalan dengan pikiranku atau dia mencoba agar aku kembali peduli dengan topik diantara kita? Entahlah.
Disana aku paham, lagi-lagi harus aku hentikan perkenalan karena mati pahamku dalam mengerti dunia pria. Aneh rasanya, tapi aku tau batas dimana pria tidak semudah itu mau mengenal siapa diriku sebenernya? Seberapa aku mudah rapuh dalam hal-hal kasih di dunia.
Percayalah... aku masih suka memikirkan hal itu, mengapa dia juga seperti kebanyakan orang yang datang memberiku saran dan hilang tanpa pamit, msekipun aku masih jelad melihat jejaknya dalam hidupku.
Untukmu, sesuai permintaanmu padaku saat itu. Namamu telah aku sematkan di lembar skripsiku dalam ucapan terima kasih kau berarti dalam menyadarkanku yang terlelap akan dunia yang keras ini.
Aku bahkan menuliskan disana "semoga kita bertemu dalam keadaan sukses dalam bisnis, terima kasih atas pelajarannya. Aku perlahan mengingatmu yang berjasa. Sekali lagi dengan ini kuucapkan terima kasih"
Komentar
Posting Komentar