Ruang Bawah Tanah

Gelap, setelah pintu itu terbuka. Berdebu, penuh, dan langkah tak lagi meninggalkan jejak disana. Lorong yang begitu panjang, meninggalkan harum yang lama telah terlupa siapa yang pernah meninggalinya. Namun, entah keberanian macam apa yang rela kembali?

Kali ini ditandai, oleh langkah telapak kaki dewasa.

"Aku kembali".

Langkah kaki itu nyata adanya, meninggalkan dejitan tanpa jeritan. Terasa tenang bagi yang mampu kembali. Sisa-sisa kisah yang tampak ragu seperti lolongan sepanjang malam. Tak ada kata takut, selain berharap berlalu demikian. 

Ada ruang disana. Maka, langkah itu terhenti.

Ada kunci dalam genggamnya, ada tiga warna melekat ditiap gagang kunci itu. 

Putih, Hitam, dan Abu-abu. Mirip dengan daun pintu dihadapannya.

Kali ini langkah kakinya mendekat pada pintu yang bercat putih itu. 


Maka pintu itu terbuka, pada satu ruang yang tetap gelap. Ada suara gelak tawa dan tangis disana, dia menunduk sejenak. Berjalan mendekati sebuah meja dengan ruang kosong bersih sekitarnya. Meskipun begitu berdebu disana. Ada buku usang tertinggal disana, bertuliskan "masa itu, seorang aku". Buku yang berwarna putih itu tertulis, "Masa aku dengan perjuanganku".

Pelan-pelan ia membuka selembar demi selembar dengan kelembutan.

Membuka buku itu dengan bijak.

"Kala itu, aku lahir. Meskipun hidup orang tuaku dalam pertarungan, tapi mereka memilih aku untuk lahir. Angan demi angan yang kemudian semakin nyata jika hanya dijadikan mimpi". Kali ini, matanya perlahan berkaca, entah siapa yang membuatnya rapuh. 

Apakah hanya sekadar kata-kata? Apakah sebuah kesadaran? Maka, lembar berikutnya buku-buku itu kembali dibuka.

"Nama yang disamatkan padamu, adalah doa untukmu tumbuh. Jiwa dan ragamu, adalah janji yang harus kau tepati atas cinta dan kasih-Nya. Lalu mengapa kau bertanya?"

Ruangan putih, nyatanya lebih memilih kelabu sekarang. Meninggalkan sepi dan kepercaayan untuk terus membuka mata dan membaca.

"Kamu telah berjalan hari itu, meskipun tampak masih ragu ragamu. Tapi, keyakinan yang membuat dirimu berjalan sejauh ini bukan? Semua hanya perihal berani wahai sayang". Tertegun membisu dan isak tangis memenuhi ruangan gelap nan putih itu.

"Kau merasa berat dirimu, bagaimana dengan ibumu yang selama ini mengandungmu sampai kau hadir kedunia ini? Semua adalah perjuangan". 

Kali ini wajahnya merunduk lebih rendah lagi. 

"Apakah aku pantas dengan hidup yang kujalani sekarang? keluh kesah, rindu penuh gelisah, aku rindu masa kecilku".

Maka, angin itu berhembus kencang, sebuah pertanyaan yang menghantarkan ia kali ini diruangan berwarna hitam. Sangat gelap, gelap sekali. Meninggalkan kesan menakutkan, bagi yang tak paham. Meski tubuhnya tampak yakin, namun hati manusia mana yang mudah yakin bahwa setiap warna gelap memiliki warna yang baik jua.

Langkah kakinya meninggalkan decitan kayu pohon yang diinjaknya, melaraskan bunyi dan makna rindu mendalam dalam diam. Seketika itu jua dinding-dinding tampak bercerita tentang masa yang gelap, kini semua orang tau.. bahwa tiada masa dewasa yang menyenangkan.

Ruangan itu perlahan bercahaya, ketika seseorang masuk kedalamnya. 

Wajah yang pernah bersua, wajah yang pernah di damba, wajah yang paling diingat, wajah yang memiliki rapuhnya. 

Maka kali ini, mendekaplah raga itu. 

"Kamu.... Apa kabar?"

tak ada jawaban, hanya menatap dalam. Tatapan yang begitu membingungkan, layaknya hidup yang terus berlalu.

"Duniaku tidak baik setelah masa itu habis dan banyak menyaksikan kepergian orang lain. Bagaimana bisa manusia bertahan?" celotehnya dengan tangis yang pecah.

Teriaknya tampak begitu menyakitkan. Tangis yang keluar dari pelupuk matanya itu membuat segalanya begitu dingin dan mengasingkan.

"Aku rindu.. Boleh kuputar waktu?"

Tertegun orang lain itu.

"Bisakah aku bertemu sekali lagi?"

Tampak diam.

"Semua tampak jahat, jika bukan kamu". 

Wajahnya kali ini mengadah dan memohon, entah bermaksud apa? 

Dalam hening yang menyejukan setiap masa itu, adalah seperti yang ia prediksi "tetaplah hidup, meskipun tak ada satu pun yang menjadi alasan kau hidup, berdirilah dan berjalan selalu, maka aku akan berlalu".

Tangannya yang begitu dingin telah menggenggam memberikan hangat yang memenuhi ruangan, matanya juga saling menatap dengan nanar, entah siapa yang dihadapannya kali ini. Lalu pelukan yang merangkul begitu yakin nyatanya adalah "Aku". 

"Kamu? adalah aku?" '

Seseorang itu tersenyum dengan paras yang manis, menghapus derasnya air mata yang menghangatkan yang jatuh ke pipi. 

Pelukan lepas itu, meninggalkan harum bunga yang tak asing dan selalu dirindukan. Genggaman itu yang paling menemani dalam diam, menghapus segala perlahan tangis yang membawaku pada tangga yang harus kujalani pada ruang kosong berwana abu-abu itu. Ia merangkul dalam langkahnya menuju ruangan terakhir yang tertulis "ruang masa yang akan datang".

Langkah peneman sepi itu berhenti "tak perlu ragu, ada aku".

Kali ini seseorang itu, memberi kedamaian. Tidak marah atas cerobah dirinya. 

Menyanyangi dari setiap sisi dalam ruang putih dan hitam, dan abu yang tak tentu jua apa tujuan akhirnya.

"Percayalah, kau hadir atas restunya, maka hiduplah dalam damai dalam Ridhonya. Maka, aku akan menemani atas ke raguanmu. Jika tangismu kemarin adalah rupa dari kehidupan, maka ada waktunya hujan menumbuhkan bunga, seperti kamu".

Tatapnya yang begitu yakin membuat masa terberat itu meyakini, apa gunanya hidup ini?

"Karena pilihan tuhan tak pernah salah, kamu nyata dan harus melihat ruangan bawah tanah itu sehingga kau tau. Apa yang layak kau dapat setelah hidupmu yang usang begitu putih dan datang bertuliskan tinta hitam, telah berlalu".

Ia masih diam tak ingin mendengar selain ditemani, masa sulit itu.

"Berusaha untuk hebat, adalah bagian aku mengajarkanmu hidup selama ini. Jangan tangisi yang tak seharusnya membawa badai dan air deras dalam hidupmu".

Bolehkah aku egois, kamu adalah aku. Maka kamu tau itu yang aku mau..

"Manusia berubah, hatimu sendiri yang harus berubah, hitam harus kau pahami, tak selamanya gelap jika aku ada. Aku hanya selalu menggenggam tapi pilihan di dirimu. Hiduplah dalam damai, maka kemenangan akan tenang akan menjadi milikmu".

Maka, dunia akan baik-baik saja, 

"Melangkahlah saat hari dimulai, bukan saat terbenam. Menunggu hingga pagi tak pernah salah, jika dibandingkan semangat dalam senja tanpa arah. Pergilah, kali ini bawa doa-doa dari-Nya, hingga kau paham, apa yang sebenarnya membuatmu hidup selama ini".

Kau harus ikut..

Maka langkah kaki itu membawa pada ruangan abu-abu itu, riuh pikuk.

Manusia dengan segala hal kesibukannya, tak terkecuali dengan kebanggaan dan kesedihannya.

"Lagi pula, siapa yang peduli selain dirimu sendiri".

  

 

Komentar

Postingan Populer