18 Coffee

Lagi hujan diluar.

Apa kau masih ingat, hal yang selalu ingin kita wujudkan?

"Kebahagiaan".


Aku masih ingin menuliskan surat cinta untukmu.

Meskipun aku tahu, ini hanya akan menjadi surat sesalku untukmu.

"Apa kabar segalanya tentangmu?"

Ketika aku membuka album kenangan tentangmu dan aku.


Aku akan bercerita bagaimana aku mulai tahu, tentang kau telah mempercayai hatimu untuknya.

Aku tahu bahwa cintamu kini telah berlabu untuk wanitamu yang kini dan seterusnya menjadi pasanganmu. Sungguh, tidak perlu kau memperlihatkan kasihmu yang tulus seluruhnya untuknya. 

Aku meyakini bahwa kamu "menang" atas apa yang menjadi pertaruhan yang aku miliki saat itu.


Belakangan, nada-nada alam telah menyampaikan kabar bahagiamu. 

Pilihanmu yang terbaik, aku tahu itu. Aku menyadari bahwa kau begitu memperlihatkan rasa cintamu. 

Sungguh, aku salah mengenalmu saat itu. Nyatanya dulu, aku masih terlalu asing untuk mengenal cinta tulus dari kekasihku.


Kau tahu? aku selalu mempersiapkan hari dimana aku tahu, kau telah memilih wanita yang sangat ingin kau lindungi. 

Wanita yang selalu ingin kau bagi tentang ketakutanmu, wanita yang ingin menemanimu dari awal dan selamanya dalam karier kehidupanmu.  

Setidaknya itu yang kau ceritakan saat kita pertama kali bertemu.

Kau tahu? dan setelah aku bertemu denganmu, aku sangat mencintai warna hijau.

Entah mengapa, aku berpikir hari itu adalah "semesta bekerja untuk membuatku jatuh cinta sangat dalam padamu".

Bagaimana bisa, kita menggunakan baju yang sama? hijau? dan kita tampak serasi. Setidaknya itu yang terus melambungkan rasaku hingga kini.

Cerita kebetulan kita, terlalu menjadi topik yang selalu aku cintai, meskipun itu adalah kali pertama kita bertemu.

Ngomong-ngomong, hari itu ice cream yang mencair seakan ikut meleleh dengan gugupku menatapmu.

Aooowhhh, air mataku menetes sambil menuliskan ini semua.


Aku akui bahwa, sosokmu yang misterius adalah bagian yang membuatku selalu mencintaimu.

Sayangnya, hal yang aku cintai itu dari sosokmu yang justru membuat aku hempas dari segala cerita cinta ini.

Aku terus mengingat tempat yang pernah kamu pijakan untuk menemuiku. Semua terpaksa aku hapuskan karena hujan yang memintaku seperti itu.

Kamu adalah sosok yang sopan dalam mencintai, bagaimana bisa kamu terus meninggalkan kebaikan dalam kenangan? 


Maaf, aku terus mengeluh akhir-akhir ini.

Setelah aku tahu, kau telah meresmikan statusmu yang akan terus bersemi untuknya.

Pernikahan? aku terus kalah dengan kata itu setelah aku medengar nada alam jika kau sudah bahagia kini.

Aku masih sesak. 

Jika aku terus membayangkan, apabila kita berhadapan. 

"Kamu kalah, aku telah bahagia. Bagaimana denganmu?"

Apa aku harus jujur?

Aku hilang arah atas cinta setelah kepergianmu. 

Aku berusaha bertemu dan menjalani pesanku yang terakhir ku kirim untukmu.

Nyatanya, kau yang paling tepat janji. Aku tau kau paling yakin akan hidup dan mengedepankan janji-janjimu. Bahkan janji yang aku minta padamu saat itu "Carilah kebahagiaan masing-masing. Kamu bahagia dengan caramu, begitu juga aku. Akan berusaha bahagia dengan segalanya tanpa kamu."

Aku tahu, itu hal yang paling aku sesali hingga kini. 

Tapi, aku menyadari bahwa cinta butuh keikhlasan, cinta butuh ketulusan. 

Aku yang paling mencintaimu, memilih melepaskanmu ketika aku masih sangat mencintaimu demi kebahagiaanmu dan mengurangi segala beban ceritamu.

Itu pilihan terbaik untukku saat itu.

Aku berpura-pura tidak peduli, aku ingin terlihat tangguh hingga akhirnya kau benar meninggalkanku.

Aku berpikir, jika kita tidak ditakdirkan saat itu. Kayakinan membawaku pada pasti "aku dan kamu akan bertemu kembali diwaktu terbaik kita"

Nyatanya, kesungguhan soal bertemu kembali adalah saat aku melihat kau telah membangun kehidupan bahagia versimu tanpa aku. Padahal aku masih menunggu waktu terbaik itu, tapi aku salah.


Salah satu yang aku yakini saat itu kondisiku hancur dan sangat baik untuk melepasmu.

Aku tidak menyalahkan kamu, ketika tidak mengenalku dengan sosok yang "berusaha dan tidak ingin orang yang aku cintai tau aku sedang hancur".

Dan itu menjadi pahammu, menjadikan aku sosok antagonis yang terus menghancurkan cerita cinta dan rencana besar dikehidupan kita nantinya.

Aku yang selalu menyalahkanmu yang tidak pernah mengapresiasi usahaku, kamu yang tidak pernah bertanya mengapa dan bagaimana kondisiku?

Itu membuatku semakin kecil dan lemah, bahkan semakin parah. Apa benar, bahwa cinta dan kasihku bertepuk sebelah tangan?




Ketika kita berdua dalam amarah, aku selalu ingat bagaimana saat kamu mengelus rambutku. Bagaimana saat aku tertawa utuk menutupi rasa gugupku dihadapanmu. Sungguh, itu bagian terbaiknya. Aku melihat senyummu yang manis, bersebelahan denganku dengan sederhana.

Entah, apa kau ingat?

Kamu datang saat hujan untuk menemuiku. Kita duduk berdua.

Aku tahu kau sangat hancur akan cerita keluh kesah tentang keluarga. 

Aku bisa memahami, aku sangat ingin membantumu.

Apa dayaku? Aku bahagia dihadapanmu. 

Tapi, tidak dengan hati dan pikiranku yang mengkhawatirkanmu setengah mati.

Apakah aku beban untukmu?

Sejujurnya, saat itupun aku ingin kamu bertanya padaku, dan mengatakan "Kamu apa kabar ketika aku hilang karena masalahku?"

Aku berusaha mengesampingkan hidupku yang hancur untuk bertahan hebat bersamamu waktu itu, aku diam dan meyakinkan aku tau segala yang kamu rasakan. Aku ingin terus bersamamu.

Bahkan ketulusanku memberanikan diri bahwa "aku ingin susah hidup bersamamu".

Kamu melewati itu, aku yang paling khawatir pun tidak kau dengarkan dan meminta aku untuk mengerti keadaanmu. Apa aku masih terlalu kecil untuk ingin didengar?

"Aku salah ya?"

Aku terus mencari kesalahanku ketika kau hilang perlahan, mungkinkah aku sangat membebanimu?


Segala yang kulakukan, segala persiapan yang ingin ku korbankan untuk mendampingimu saat itu. Tidak pernah kau tanyakan kembali. Aku berusaha yang terbaik semampuku. Apa aku masih kurang dalam korbanku saat itu?

Aku ingin tetap berada disampingmu, dan kita tertawa bersama kembali.

Oh bagian terbaiknya, saat aku bertemu ayah untuk pertama dan terakhirnya.

Aku datang karena sakit dari alergiku kambuh. 

Aku bisa merasakan rumah itu begitu hampa tanpa Mamah. Aku bisa merasakan sedihmu, mungkin kesamaan cerita kita menjadi terjalin sebab kesamaan tentang kita kehilangan orang yang kita cintai.

Kamu kehilangan mamah, aku kehilangan abangku tersayang, sebab keduanya ditakdirkan untuk menderita penyakit yang sama. 


Waktu sulit bagi kita kita untuk pahami.

Kapan kematian terbaik manusia, kita tidak pernah merasa puas memiliki waktu bersama dengan orang yang kita cintai.

Aku ingat betul saat kamu bercerita.

Menyuruh ayah, mencari pengganti mamah. Aku tanya, mengapa kamu bisa seikhlas itu ?

Kamu bilang itu mungkin kebaikan untuk ayah, agar ayah ada yang bantu mengurus keperluannya. 

Ketika anak-anaknya jauh dari ayah.

Aku tertegun, apakah pria hebat ini benar cinta aku?


Namun, ketika semakin aku masuk kedalam. 

Kamu benar, ayah membutuhkan sosok pengganti. 

Ayah sakit, adikmu ada namun terasa canggung akan hidup. 

Kamu harus bekerja keras. Entah mengapa? Jiwaku sakit dan semakin ingin melindungimu dan memahaimu.


Kamu ingat saat aku memakai jaket kuliahmu? 

Kamu mengenalkanku pada Bandung malam itu, romantisme yang selalu aku impikan. Berjalan bersama. Tapi aku paham itu juga waktu yang tidak tepat untuk bertemu keluarga besarmu. Aku merasa buruk telah mengecewakanmu dalam beberapa sisi cerita tentang Bandung.

Kamu mengenalkan dunia kampusmu, proses yang selalu kamu ceritakan. Aku sangat menghargai usahamu, teramat membanggakan lelaki sepertimu bisa berada disampingku.

Aku bangga sekali padamu. Jaket kuliahmu itu juga selalu menemaniku kemanapun. 

Jaket yang juga menjadi barang kesayanganmu. Aku pakai, dan kita ambil dirumahmu sebab alergiku terus parah, sebab Bandung setelah hujan sangat dingin.

Ayah yang sakit saat itu. Membuat dirinya berusaha sembuh untuk menyapaku.

Aku masih ingat, itu membuatmu bahagia dari apa yang aku bayangkan.

Aku merindukan momentum itu. Itu seperti mimpi, kau pun berpikir demikian saat itu.

Jika boleh aku jujur padamu, aku sedikit malu saat itu. 

Aku berpakaian yang kurang siap bertemu ayah dan adikmu.

Tapi katamu kamu bahagia melihat ayah seketika sembuh dan dapat bangkit saat melihatku?

Kuharap saat itu, kehadiranku selalu menjadi keajaiban dihidupmu.


18 Coffee...

Aku ingin bilang padamu, bahwa band yang aku sukai akhir-akhir ini sering manggung disana.

Aku ingat juga, bahwa itu tempat hangout satu-satunya yang masih menerima pesanan saat itu.

Aku ingin lebih lama disana, tetapi orang tuaku terus menghubungiku karena itu sudah terlalu larut. 

Kamu juga bilang itu tempat paling enak untuk nongkrong waktu kamu kuliah dulukan? aku menyukai live musik disana, entah mengapa jika itu di Jakarta aku tidak terlalu menyukainya. Apa karena itu Bandung? aku jadi menikmati setiap dan segala hal disana. Termasuk kamu disana.

Dan akhirnya kita pulang.

Lagi, aku menemukan hal yang buatku bingung atas rasamu.

Jika kau ingat...

Ini buruk, setelah dua bulan tidak bertemu. Mengapa kau tidak ingin mengucapkan pamit dengan baik?

Apa aku salah jika hanya meminta peluk darimu?

Hingga akhirnya aku bertanya padamu.

"...Kamu gak mau meluk aku?"

Dan kamu ragu sejenak, dan memelukku bahkan hanya sedetik.

Kamu pulang dan aku memelukmu sekali lagi, lagi-lagi hanya aku yang menunjukan rindu?

Aneh ya?   

Tapi, aku selalu berpikir. Tidak apa jika kamu seperti itu. Asal masih terus bersamaku.

Tunggu? apa kau sempat mengusap kepalaku?

Entahlah Aku lupa bagian itu.


Bandung, selalu menjadi kota yang paling aku sukai, dan menjadi kota impianku untuk tinggal disana.

Saat aku tahu kamu sejak lahir disana, dengan segala hal yang aku sukai tentangmu. Bukankah itu hal yang paling tidak aku relakan untuk kehilanganmu?

Yah, seharusnya begitukan?

Bagaimana aku bisa melupakanmu, ditempat yang paling aku kagumi di semesta ini. Tempat yang menurutku sejak dulu memiliki nilai romansa terbaik sebelum aku bertemu denganmu. Tempat pelarianku, tempat dimana kamu lahir, dan tempatmu untuk pulang.

Bukankah itu melengkapi kebahagiaan dan tangisku yang beriringan?

Aku sakit sendiri kini. 

Sekali lagi kamu memenangkan janji yang aku utarakan untukmu.

Lebaran tahun ini, aku kembali kesana. Masih terasa jejak kesedihan itu.  

Setidaknya aku merasakan sendiri. Karena nada-nada cinta itu sudah bukan milikku lagi. 

Saat itu juga mungkin aku mengetahui, kamu sudah menjadi pasangan hidup wanita yang memenangkan ketulusanmu.


Apa aku ingin bertindak berlebihan akan tulus?

Aku hanya ingin mengatakan jika hatiku masih terpaut padamu. Bahkan ditengah perkebunan teh saat aku disana. Air mataku menetes, bahwa ini bukan kebahagiaan yang aku nantikan melihat kau hidup bahagia tanpa aku.

Tapi, berbicara ikhlas dan tulus. Bolehkah kau mengakui, bahwa aku yang menang?

Karena aku menjadi orang yang dari jauh tetap memberikan doa terbaik untukmu dan bahagiamu.

Aku bersusah payah dalam menahan rinduku sejak perpisahan kita hingga sekarang.


Ini tidak wajar, aku tahu.

Begitu juga saat itu. Saat aku menjemputmu. Mengapa aku kehilangan arah cukup banyak?

Aku benar-benar tersenyum dengan lebarnya saat bertemu denganmu. Tapi, kamu biasa saja.

Kamu bukan kamu yang aku tahu, selalu semangat jika bertemu dan menyarakan berbagai hal kepadaku. Salah satunya tentang berbagai film yang coba kamu ceritakan dan selalu menjadi bahan rekomendasi kepadaku. 

Saat itu kamu lebih banyak tersenyum dalam diam.

Ini buruk, aku mulai merasa kosong dan terus takut kehilanganmu.

Aku hancur dalam berpura-pura tersenyum.

Kamu tidak pernah bertanya "mengapa aku berubah?" 

Apakah itu bukti kau tidak peduli lagi akan hancurnya kisah cinta ini perlahan?

Apakah pemahaman cinta antar kita berdua mulai terbukti nyata?

Jika 90 hari adalah fase manusia jatuh cinta, dan kita hanya bertahan pada situasi yang membuatmu muak akan diriku?

Apakah pribadiku yang kau benci?

Apakah aku salah hilang tanpa kamu bertanya?

Dan kamu membalasku dengan hilangmu juga.

Kita lucu dengan cinta kita. 


Saat kali pertama terakhir kita bertemu, kamu ingat?

Kita seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

Kita berjalan sambil berpegang tangan, cukup seharian, kamu mengajakku juga untuk bertemu kolegamu. 

Semua masih penuh kasih. Aku ingat itu.

Kamu berusaha menyempurnakan kisah ini, kamu juga mengajakku untuk menyelesaikan urusan pekerjaanmu. 

Sialnya, jalanan Kemang membuatku selalu berkata "aku pernah kesini, dengan pria hebat itu".

Ya, kamu.

Aku senang kamu membuatku melengkapi segala urusanmu.


Hari itu kita menghabiskan banyak waktu.

Hingga akhirnya kita terhenti disebuah tempat. 

Menikmati sebuah kopi hangat dan makanan pedas.

Aku ingat kamu menceritakan berbagai kolegamu, akupun sangat menyukai kau sibuk dengan laptopmu. Itu seperti hal seksi yang kau lakukan. Laptop yang banyak kau ceritakan padaku atas pilihanmu. Laptop yang juga melengkapi pekerjaan barumu ketika berjarak jauh denganku.


Aku juga merindukan kalimatmu seperti saat aku berkata.

Kita harus membangun rumah di Bandung, dan kamu mengatakan akan bermain game atas dasar rumah itu, sehingga terbayang masa depan nantinya. Seperti yang kamu lakukan dengan mamah saat mamah masih bersamamu dulu.

Aku sangat senang dan bahagia, inikah takdir terbaik itu?

Kamu berceloteh tentang harga tanah disekitar Lembang dan kota Bandung yang harganya cukup dapat kau beli untuk membangun istana kita kelak. 

Aku sangat bahagia mendengarnya. Itu seperti mimpiku yang paling sempurna jika terwujud.

Aku menyerahkan kuasa Tuhan untuk kita dipersatukan.

Tapi, saat kamu bercerita dihadapanku. 

Pada hal-hal terbaik dalam hidupmu, aku hanya tersenyum. Namun aku merasa waktuku belum siap untuk segala hal. Bagaimana dengan impianku yang lain?

Bagaimana dengan pendidikanku?

Bagaimana dengan orang tuaku?

Bagaimana dengan segala hal yang belum pernah kucoba sebelumnya?

Seperti tidur larut malam karena terus bekerja. 

Aku belum siap untuk menyerahkan hidupku seutuhnya padamu saat itu. 

Tanpa kusadari aku berhenti melangkah kearahmu. Aku perlahan melepasmu selaras dengan aku berhenti mengikuti media sosialmu. Aku hancur dan kau tidak pernah bertanya "mengapa aku perlahan membataskan diri dari kekasihku sendiri (kamu?) Dan aku berharap banyak kau peduli soal aku. Nyatanya salah. Kau tetap diam hingga kupikir pergi kearah yang berbeda menjadi jalan pintasmu untukku". 

Itu terus terbayang dan menjadi pahamku.

Kau tidak seperduli dulu jika itu tentang aku.

Terlepas dari itu... Aku juga masih banyak mimpi yang ingin aku raih, tapi kucoba menghalau segalanya. 

Apa aku bisa merelakan segalanya?

Kehidupan terus menuntutku.

"Aku dalam kondisi sulit, buruk dan hancur, aku tidak bisa bersamanya untuk sekarang" batinku aneh.

Terus berpikir, seperti itu. Kala kau tersenyum menggenggamku. Aku menahan tangis, tidakkah kau sadari itu? aku juga ingin kamu bangga akan kehidupan pasanganmu.


Aku tidak bisa.

Tapi cinta tidak membiarkanku untuk menanti. Maka pertengkaran hebat itu terjadi.

Aku yang begitu lelah tanpa pendukung, dan kau yang terus marah tanpa penjelasan. Hilang entah kemana?

Bagaimana cara aku mencari?

Saat itu aku ingin sekali bertanya pada abangmu, namun pantaskah aku?

Wanita yang belum siap apapun dalam menjalani hidup.

Tidak, itu tidak cocok dengan jiwaku yang terus mencari duniamu ketika kamu memilih pergi.

Maka aku juga diam.

Kamu menyetujui perpisahan itu, tanpa bertanya hatiku yang masih terus memanggilmu dengan cinta.

Ada bayang juga tentang kau cerita bahwa adanya benda seorang wanita ditempat istirahatmu. Rasa kasihku yang besar itu bahkan tidak merelakan untuk menyalahkanmu soal cemburuku. Atau bahkan adanya rencana berpisah atau berpaling dariku. Aku hanya terus berpikir bahwa... kamu terlalu indah dimataku dan orang lain, sehingga banyak cara untuk mengalihkan kamu dari diriku yang jauh darimu.

Aku hanya berusaha paham jika aku bukan pilihan hatimu. Kesungguhanku tentangmu adalah tentang menjaga peran protagonismu dalam cerita yang pernah kita tulis.

 Banyak masalah pekerjaan yang terjadi ketika kamu masih menyesuaikan perkerjaanmu. Segala cerita kendala pekerjaanmu yang aku dengar aku coba mengerti, tapi aku tidak setangguh itu ketika aku pun hancur dengan hidupku.

Kalimatmu yang membuatku semakin tersulut amarah dan kesedihan, saat kau mengabariku jika kau pindah tempat tinggal dan tidak jauh dari rumahku. Itu membuatku sedih. 

Aku ingin bersamamu, tapi tidak dengan keadaan seperti aku dalam kesulitan seperti ini.

Kamu lupa bertanya tentang aku?

Hingga akhirnya kalimatmu yang kau sematkan untukku "si paling merasa tersakiti" menjadi titik kau tidak bisa memahamiku. Apakah ini akhir dari kisah kita?

Meski ada pertemuan yang kamu minta, meskipun aku sangat menyesali kesempatan itu. 

Kalimatmu dalam pesan yang kau kirim, pesan yang seakan menutup tentang kita kembali bersama adalah masa terberat dan sesak untukku.

"Nanti ujungnya akan sama, akan seperti ini lagi. Ini tidak akan berhasil" membuatku terus meyakini.

Kau ingin bahagia tanpa aku, maka aku memilih untuk tidak pergi menemuimu.

Padahal kau juga tidak tahu, aku sedang dalam mengerjakan tugas studiku yang rumit dan membuatku cukup terpikir. Apa yang sebaiknya aku relakan, tugas studiku? atau kamu?

Aku menangis, dan hujan turun. Aku yang egois, aku mengejar yang pasti. Aku teruskan tugas studiku, dan kamu pergi tanpa membalas pesanku lagi. 

"Kita bahagia dengan cara masing-masing aja. Aku cari bahagiaku dan kamu carilah kebahagiaanmu".

Aku menangis dan semakin hancur.

Kelaskupun digagalkan, dan kamupun pergi dengan pesan yang kukirimkan saat itu.


Tapi bolehkah aku jujur, rasa kecewaku yang kamu lewatkan?

Kamu pasti marah jika membaca ini. Padahal ini adalah obat atas rasa rinduku.

Kau ingat? aku harus belajar berkendara mobil?

untuk menjemputmu? meskipun itu dengan nada bergurau. 

Aku terus terpikir, untuk mewujudkan hal itu setelah studiku berjalan baik.

Meskipun aku takut, aku ingin mencobanya.

Aku ingin bertemu denganmu, kala aku menjemputmu di bandara.

Ini adalah mimpi buruk, sebab nyatanya. Aku semakin takut menyetir, tidak ada alasan lagi.

Apakah aku harus mengurungkan niatku untuk itu?

Entahlah sepertinya ini sudah takdirnya.

Lagi-lagi aku menyalahkan diriku sendiri yang tidak mampu memberikan lebih untukmu karena keterbatasanku.

Bagian yang selalu aku rindukan dan bahkan hingga hampir akhirnya kita berakhir.

Adalah mimpimu.

Kamu ingat rumah putih milik atasanmu?

Kelak katamu itu bisa menjadi milikmu, tempat tinggal yang nyaman jika dalam prosesmu berhasil.

Apakah sekarang kau tinggal disana, dengan wanitamu sekarang?

Berilah dia segalanya yang terbaik, sebab dia akan menemanimu sampai kau menutup mata. 

Aku terus berdoa untuk diriku dikuatkan selalu, dan mendapatkan penggantimu yang jauh lebih baik.

Seperti katamu juga, pentingnya proses belajar dan terutama anakmu. Yang akan kau berikan pendidikan terbaik untuknya. Aku menahan tangis hingga detik ini. Sebab segala rencana tentang Bandung, ayah, adik dan abangmu semua akan menjadikan wanita itu yang terlibat.

Kesadarankupun harus segera pulih.

Penantianku dihentikan oleh waktu yang tidak berpihak padaku. 

Dan kamu, semoga kebahagiaan menyertaimu selalu dan keluarga.


Maaf aku belum bisa pamit dari rasa rindu.

Biarkanlah tabahku menjadi bukti cinta tulus untukmu.

Seperti yang pernah kau katakan "jangan cintai aku dan terima aku karena kasihan".

Yang saat kau bertanya padaku untuk menjadi kekasih, dan aku menghadapi dua pilihan.

Kamu yang dalam proses menjajaki kehidupan bersama beban keluarga dan rindu mamah? 

atau dia yang saat itu memintaku semoga menjadi orang yang juga membutuhkannya?

Sejujurnya, aku memilih bersamamu, karena kau pernah bilang ingin berbahagia dengan wanita yang menemanimu dari nol atau bukan tahu saat kau dipuncak saja. Karena itu menjadi kunci kebersamaan.

Dan semua dimenangi dengan wanita pilihanmu itu. 

Dan untuk saat itu aku menghindari semua orang yang membutuhkanku untuk bertahan denganmu, menemani proses. Tetapi, tuhan seakan mengatakan "Aku harus berhenti dalam perjalananku menemanimu". 

Aku juga bukan seperti masa lalumu yang bisa bertahan dengan segala hal untukmu.

Aku saat itu masih dalam prosesku, mengejar mimpiku yang lain.

Maaf jika tidak berkata jujur, maaf jika perasaan ini begitu salah karena aku terlalu tertutup padamu.

Maaf jika aku memberikan luka karena aku diam.

Jika aku boleh membela diriku sekali, aku hanya ingin berkata "mengapa kau tidak pernah bertanya tentang keadaanku. Dan terus ingin pergi dariku? Apakah aku tidak pantas untukmu? Apakah kamu membuatku malu atas keberadaanku? Atau.....Mungkinkah aku tidak begitu banyak memberikan bahagia untukmu?

Entahlah hanya kamu yang bisa menjawabnya.
Terima kasih atas segalanya, cinta, kenangan, dan rindu.


Semoga kau juga berkenan berdoa untukku, aku bisa bertemu dengan takdir terbaikku.

Sebab, terlalu banyak kisah yang salah dan semakin salah aku temui, sejak kepergianmu.

Aku berharap bahwa...

Ketika aku bersama lelaki lain kelak, kau bukan lagi halangan dalam jiwa dan nadiku.


Sekali lagi maaf, aku masih merindukanmu.





   









 



Komentar

Postingan Populer