Satu = Kita
Apa
yang aku mimpikan sebelumnya tentang dia?
Apa
yang aku khawatirkan sebelumnya tentang dia?
Apakah
aku bisa membuat dirinya melihatku?
Begitu
banyak pertanyaan yang aku ajukan tentangnya.
Sejak
awal aku tahu itu bukanlah pertemuan yang indah untuk saling jatuh cinta.
Tetapi,
siapa perduli ketika aku mulai bertemu denganya secara singkat.
Aku
mulai bertanya tentangnya.
Ada
yang mungkin teringat jelas tentangnya, bagaimana suara itu menyapa orang lain
dihadapanku.
Aku
yang sejak awal enggan untuk membahas setelah pertemuan itu.
Lagi-lagi
ketidaksengajaan terus membuat jalan untukku bertemu dengannya.
Diam-diam
aku mulai memperhatikan segala sikapnya.
Diam-diam
aku berharap bahwa dia mampu membuka hatinya untukku.
Diam-diam
aku perlahan mengetahui tentangnya, meskipun itu tidak banyak.
Setiap
hari, aku berharap bertemu denganya.
Kuharap
itu seperti takdir setiap harinya. Bertemu dengannya sebab ketidaksengajaan.
Kupikir
itu lebih romantis, dan kuharap bukan hanya aku yang terus berharap akan
pertemuan itu.
Sampai
malam, aku tahu bahwa itu adalah sosoknya.
Datang
padaku, tidak. Maksud ku dia tidak sengaja berjalan melewatiku.
Disanalah
dia berhenti, menyapaku.. memanggil namaku dengan singkat.
Aku
ingat betul suara itu, yang beberapa malam lalu mendengar keluh kesahku hingga
mentari ingin nampak di ufuk timur.
Dia
tersenyum, dan… berlalu begitu saja. Aku tahu, ini hanya perasaanku saja.
Selanjutnya
dia berjalan begitu saja dari hadapanku. Aku masih terus melihat sosoknya dari kejauhan.
Bahkan hingga aku tidak melihat bayangan itu lagi.
Setiap
waktu, aku berpikir tentangnya. Aku merindukan sosoknya kala sebuah pesan singkat
kerap kali dia kirimkan kepadaku.
Kadang
aku berpikir, seberapa sering senyumku tercipta akhir-akhir ini?
Lalu,
lagi-lagi pertemuan itu hanya milikku dan dia.
Lagi-lagi
aku berusaha meyakinkan diriku dan rasaku, namun kenyataannya.
Aku
terlalu dalam mencintainya. Hingga aku tak pernah berpikir soal waktu jika
tentangnya.
Hingga,
hari itu semakin dekat. Kerap kali aku seakan membuatnya kecewa dengan beberapa
hal tentangku yang membuatnya tidak baik-baik saja.
Kau
tahu, sulit mengendalikan orang lain disekitarku.
Sesekali
mataku sering tertuju padanya kala keramaian menjadi alasan aku tak menyapa
dirinya.
Aku
kecewa akan diriku sendiri yang membuanya perlahan menjauh.
Maka,
kuberanikan diri hingga pada waktu yang tepat.
Dia
membuka percakapan tentang kita, aku yang tak lagi memiliki harapan besar
karena perasaanku sendiri sejak dulu.
Mungkin
dia ingin menjelaskan kepadaku, bahwa dia menggapku sebagai teman sejauh ini.
Aku
menghela nafas, dia masih pada pendiriannya dan terus berbicara tentang “Kita”.
Aku
tidak berpikir jika selama ini aku salah tentang dia.
Saat
kata-kata cinta menjadi rapalannya dia dalam percakapan itu.
Aku
tidak salah ternyata selama ini.
Kita
sama, kita berharap, kita saling menatap selama ini, aku tahu…
Bahwa
itu adalah pertanda baik untuk kita.
Sekarang
dia mendekat padaku.. bukan lagi kusebut “dia” yang tampak asing.
Tetapi,
dia adalah bagian jiwaku.
Terima kasih,
telah membuatku benar dalam berharap pada kata "satu"
itu "kita" dan "cinta".
Komentar
Posting Komentar